Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pimpinan ponpes MIFTAH KHAIRIL UMMAH Ibadah Hewan Qurban menghilangkan sifat kebinatangan

Selasa, 20 Juli 2021 bertepatan dengan hari Raya idul Adha 1442 H Gema takbir di kumandang kan tadi malam. Umat Islam di seluruh dunia sedang merayakan hari raya idul Adha ( Qurban). Pimpinan pondok pesantren MIFTAH KHAIRIL UMMAH Desa Koto baru kecamatan singingi Hilir kabupaten kuantan Singingi Buya Alzekrillah Syaf, s.psi di perya masyarakat untuk menjadi Khotib sholat Idul Adha 1442 H di lapangan Bola kaki Gerbang Sari.

Buya Alzekrillah Syaf, S. PSi Pada hari ini kaum Muslimin di seluruh dunia merayakan Hari Idul Adha karena telah sampai pada hari ke-10 bulan Dzulhijah. Idul Adha adalah peristiwa besar yang setiap tahun umat Islam sedunia merayakannya dengan melaksanakan shalat Id dan setelah itu menyembelih hewan-hewan kurban sebagai sunnah muakkadah. Setiap kali merayakan Idul Adha, kita tidak bisa lepas dari membicarakan Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as. 

Bapak-anak ini menjadi suri tauladan bagi kita semua dalam banyak hal, seperti dalam ketaatan kepada Allah swt dan dalam menjalani hidup dan kehidupan ini dengan sabar.  Nabi Ibrahim as adalah seorang hamba Allah  yang taat kepada-Nya. Beliau orang sabar sekaligus lurus, berhati lembut dan penyantun. Beliau seorang ayah dengan teladan kepemimpinan yang mencerahkan. Sedangkan sang anak, Nabi Ismail as, adalah seorang hamba yang juga taat kepada Allah. Beliau termasuk orang sabar dan  berbakti kepada kedua orang tua. 

Kemudian pimpinan pondok pesantren MIFTAH KHAIRIL UMMAH dalam khutbah nya menyampaikan kisah Alqomah yang taat beribadah, namun melukai hati ibu nya. Doa orang tua kepada anak sangat makbul, sebaliknya murka ibu kepada anak juga sangat dahsyat. Oleh karena itu tiada satupun yang boleh durhaka kepada ibu.

Jika membuat hati ibu sakit, maka balasannya sangat menyulitkan. Contohnya kisah Alqamah seorang sahabat yang sangat taat. Ia tak pernah lalaikan salat fadhu ataupun sunah. Amalan puasa dan sedekah tak pernah terlewat. Namun, di akhir hayat ia susah mengucap syahadat.

Dikisahkan, saat Alqamah sakit keras, istrinya mengirim utusan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tujuannya memberi kabar bahwa suaminya sakit kritis dan sepertinya sedang menghadapi sakaratul maut.

Begitu menerima kabar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam langsung mengutus ‘Ammar, Bilal, dan Shuhaib untuk menjenguk Alqamah dan mengajarinya mengucap kalimat tuhid, Lailahaillallah. Namun, lisannya kelu tak kuasa berucap.

Akhirnya, mereka kembali memberitahukan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi Muhammad bertanya, “Apakah di antara kedua orangtuanya masih ada yang hidup?” Disampaikan kepadanya, “Ada, wahai Rasul, ibunya. Ia sudah sangat sepuh.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta, “Temuilah ibunya. Sampaikan, ‘Jika engkau masih kuat, datanglah kepada Rasulullah. Jika tidak, diamlah di rumah. Dan Rasulullah yang akan menemuimu.’”

Singkat cerita, utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bergegas menemuinya. Setiba di hadapan ibunda Alqamah, sang utusan menyampaikan pesan tadi. “Biarlah aku sendiri yang menemui Nabi. Aku lebih berhak menemuinya,” jawab ibunda Alqamah.

Dengan bantuan tongkatnya, ibunda Alqamah pun berangkat menemui Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Setibanya, ia mengucap salam dan dijawab oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian, Baginda Nabi bertanya, “Wahai ibunda Alqamah, jujurlah kepadaku. Jika berbohong, wahyu Allah akan turun kepadaku. Bagaimana keadaan anakmu?” Ia menjawab, “Wahai Rasul, ‘Anakku itu rajin salat, rajin puasa, dan banyak sedekah.

“Lantas bagaimana keadaanmu kepadanya?” desak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

“Aku tidak suka kepadanya. Karena ia lebih mementingkan istrinya, dan durhaka kepadaku.”

“Berarti, murka sang ibunda yang membuat Alqamah terhalang mengucap syahadat,” ungkap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kemudian, Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Bilal, “Hai Bilal, kumpulkanlah kayu bakar sebanyak-banyaknya.”

“Untuk apa, ya Rasul?” sela ibunda Alqamah.

“Aku akan membakar Alqamah.”

“Wahai Rasul, dia itu anakku. Hatiku tetap tak tega melihatmu membakar tubuhnya. Apalagi dilakukan di depan mataku sendiri,” rajuk ibunda Alqamah.

“Wahai ibunda Alqamah, azab Allah itu lebih berat dan lebih kekal. Jika kau ingin Allah mengampuninya, maka ridhai dia. Demi Dzat yang menggenggam jiwaku, salat, puasa, dan sedekah Alqamah tidak ada manfaatnya selama engkau masih murka kepadanya,” kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam panjang lebar.

Wahai Rasulullah, di hadapan Allah, para malaikat-Nya, dan seluruh kaum Muslimin yang hadir, aku bersaksi bahwa aku meridhai anakku Alqamah,” ikrar sang ibunda.

Kali ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kembali memerintah Bilal, “Hai Bilal, pergi dan lihatlah Alqamah. Apakah dia sudah bisa mengucap Lailahaillallah atau belum? Siapa tahu ibunda Alqamah mengucap sesuatu yang tidak sesuai dengan isi hatinya karena malu kepadaku.”

Tak berpikir panjang, Bilal pun menuju rumah Alqamah. Dari luar rumah, dirinya mendengar Alqamah mengucap Lailahaillallah. Setelah itu, Bilal masuk ke dalam rumah dan menyampaikan, “Wahai semua yang hadir, sesungguhnya murka sang ibunda-lah yang membuat lisan Alqamah terhalang mengucap syahadat. Setelah ibunya ridha, barulah lisan Alqamah ringan mengucapnya.”

Pada hari itu juga Alqamah mengembuskan napas terakhir. Tersiar kabar kematiannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun hadir berta‘ziyah. Nabi memerintahkan agar jenazahnya segera dimandikan dan dikafani. Usai dikafani, bersama para sahabat, ia mensalati jenazahnya.

Pada saat pemakaman, baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di pinggir lubang kubur dan berpidato, “Wahai kaum Muhajirin dan Anshar, siapa saja yang mementingkan istrinya daripada ibunya, maka laknat Allah, para malaikat, dan seluruh manusia adalah untuknya. Allah tidak akan menerima kebaikan dan keadilannya kecuali ia bertobat kepada Allah, memperbaiki sikapnya kepada ibu, dan berusaha mengejar ridhanya. Sesungguhnya Ridha Allah berada pada ridha ibu. Murka Allah juga berada pada ridha ibu.

Tambah Buya Alzekrillah Syaf dalam khutbah nya, Banyak manfaat dan faidah yang didapat bagi orang yang melaksanakan qurban, diantaranya adalah menghilangkan atau membuang sifat kebinatangan pada diri manusia menyebutkan, berdasarkan mashab hambali pelaksanaan qurban hukumnya wajib.  Ini bertolak dari hadist 'Siapa yang sanggub berqurban, tapi dia tidak melaksanakanya, jangan dekati tempat sholat kami'.  

"Namun berdasarkan mashab saafii, hanafi dan maliki, pelaksanaan qurban itu adalah sunnah muakat," sebutnya. Lebih jauh disampaikan juga oleh Buya Alzekrillah Syaf, S. Psi selaku pimpinan pondok pesantren MIFTAH KHAIRIL UMMAH  ini, pada diri manusia tidak terlepas sedikit-banyaknya dari sifat kebinatangan.  Terutama dari sifat rakus, tamak dan loba, dengan berqurban, disembelih dan dibuangkan sifat kebinatangan itu.  "Orang yang mampu, dikeluarkan uang Rp 2 juta, ada Rp 2 juta seratus atau Rp 2 juta dua ratus sesuai kesepakatan, beli hewan ternak berupa kambing untuk satu orang atau sapi, kerbau, lembu, unta dan lainnya untuk tujuh orang lakukanlah qurban," tambahnya berharap. Disampaikan juga, dengan betqurban juga telah menjalankan syiar Islam, menjaga persatuan dan kesatuan karena semua masyarakat terutama nendapatkan daging qurban yang belum twntu dia dapat membelinya dalam kehudupan sehari-harinya.



Posting Komentar untuk "Pimpinan ponpes MIFTAH KHAIRIL UMMAH Ibadah Hewan Qurban menghilangkan sifat kebinatangan"